Internet
menjadi suatu kegemaran tersendiri bagi remaja dalam mencari informasi terbaru
dan menjalin hubungan dengan orang lain di beda tempat. Di zaman yang modern
ini, penggunaan internet sangatlah diperlukan.
Perkembangan
pengguna internet dari tahun ke tahun sangatlah tinggi. Sekarang lebih dari
jutaan manusia di seluruh Indonesia telah menggunakan internet. Namun ada
beberapa orang yang saat ini terkena salah satu dampak negatif dari penggunaannya.
Tidak sedikit orang yang sangat bergantung pada internet sehingga individu
kecanduan. Kecanduan internet bagi pelajar dapat diketahui melalui kegiatannya
yang setiap hari setelah pulang sekolah atau malam hari banyak dijumpai remaja
di depan komputer untuk melakukan internet. Internet telah membuat remaja
kecanduan, karena di internet menawarkan berbagai fasilitas informasi, mainan,
dan hiburan yang membuat remaja tidak ingin meninggalkan internet. Tanda-tanda
remaja yang kecanduan internet, antara lain remaja merasa senang dengan
internet, durasi penggunaan internet terus meningkat, menjadi cemas dan bosan
ketika harus melalui beberapa hari tanpa internet.
Internet
addiction adalah pemakaian internet secara berlebihan yang ditandai
dengan gejala-gejala klinis kecanduan, seperti keasyikan dengan objek candu,
pemakaian yang lebih sering terhadap objek candu, tidak memperdulikan dampak
fisik maupun psikologis pemakaian dan seb againya.
Internet Addiction sebagaimana kecanduan obat-obatan, alkohol dan judi
akan mengakibatkan kegagalan akademis, menurunkan kinerja, perselisihan dalam
perkawinan bahkan perceraian. (Young, 1996b:20)
Internet
Addiction Disorder (IAD) atau gangguan kecanduan internet meliputi segala macam
hal yang berhubungan dengan internet seperti jejaring sosial, email,
pornografi, judi online, game online, chatting dan
lain-lain. Jenis gangguan ini memang tidak tercantum pada manual diagnostik dan
statistik gangguan mental, atau yang biasa disebut dengan DSM, namun secara
bentuk dikatakan dekat dengan bentuk kecanduan akibat judi, selain itu badan
himpunan psikolog di Amerika Serikat secara formal menyebutkan bahwa kecanduan
ini termasuk dalam salah satu bentuk gangguan. (Herlina Siwi, 2004:2)
Greenfield
(dalam Young, 2007:3) menemukan bahwa pecandu online merasakan rasa
perpindahan ketika online dan tidak mampu mengelola aspek-aspek utama
dari kehidupan mereka karena mereka keasyikan dengan online. Mereka
mulai kehilangan tenggat waktu yang penting di tempat kerja, menghabiskan lebih
sedikit waktu dengan keluarga mereka, dan perlahan-lahan menarik diri dari
rutinitas normal mereka. Mereka mengabaikan hubungan sosial dengan teman-teman
mereka, rekan kerja, dan dengan komunitas mereka, dan akhirnya, hidup mereka
menjadi tidak terkendali karena internet. Seperti kecanduan, mereka menjadi
dikonsumsi dengan kegiatan internet mereka, lebih memilih game online, chatting
dengan teman online, atau perjudian melalui internet, secara
bertahap mengabaikan keluarga dan teman-teman dalam pertukaran untuk waktu
soliter di depan komputer.
Hasil
suatu pendapat online oleh salah satu internet provider di Jerman, yang
diikuti oleh sekitar 1900 responden, menyatakan bahwa sekitar 12% responden
menghabiskan waktu lebih dari 10 jam sehari untuk online, dan sekitar
13% responden mengaku menghabiskan waktu 6-10 jam sehari untuk online.
Di China, sekitar 6,4% mahasiswanya mengalami kecanduan internet. Rata-rata,
mereka menghabiskan 38,5 jam dalam seminggu untuk online. Sedangkan di
Finlandia, banyak remaja yang sedang menjalani wajib militer terpaksa
dipulangkan, karena internet addiction, dan tidak dapat beradaptasi
dengan baik dengan remaja-remaja lainnya. (Irawati, iprillia.multiply.com).
Kecanduan internet pertama
kali ditemukan oleh seorang ahli jiwa bernama Ivan Goldberg. Jenis kecanduan
internet ada tiga yaitu; bermain games yang berlebihan, kegemaran seksual
dan e-mail/pesan teks (chatting). Sedangkan gejala-gejala kecanduan internet
adalah sebagai berikut:
a. Sering lupa waktu
Mengabaikan hal-hal yang mendasar saat mengakses internet terlalu
lama. Orang yang kecanduan internet bisa tidak makan atau minum, lupa waktu
sholat, belajar, sekolah atau bekerja.
b. Gejala menarik diri
Seperti merasa marah, tegang, atau depresi ketika internet tidak
bisa diakses. Mereka akan bete, kesal bahkan stress jika tidak bisa online
karena berbagai alasan.
c. Munculnya sebuah kebutuhan konstan untuk meningkatkan waktu
yang dihabiskan.
Semakin lama jumlah waktu yang dibutuhkan untuk mengakses internet
terus bertambah.
d. Kebutuhan akan peralatan komputer yang lebih baik dan aplikasi
yang lebih banyak untuk dimiliki.
e. Sering berkomentar, berbohong, rendahnya prestasi, menutup diri
secara sosial, dan kelelahan.
Ini merupakan dampak negatif dari penggunaan Internet yang berkepanjangan. Gejala ini sama seperti gejala yang ada pada kecanduan narkoba.
Kategorisasi
yang dikembangkan oleh
Young (1999) didasarkan atas jenis
aktivitas
yang dilakukan para pengguna
internet.
Kategorisasi yang searah dengan
Young
(1996) ini justru semakin
berkembang.
Young membagi kecanduan internet
ke dalam lima kategori, yaitu:
a.
Cybersexual addiction,
yaitu
seseorang yang
melakukan penelusuran dalam
situs‐situs porno atau
cybersex secara
kompulsif.
b. Cyber‐relationship addiction,
yaitu seseorang yang hanyut
dalam pertemanan
melalui dunia cyber.
c.
Net compulsion,
yang terobsesi pada situs‐situs
perdagangan (cyber
shopping atau day
trading)
atau yaitu seseorang perjudian (cyber casino).
d.
Information overload
yaitu
seseorang yang
menelusuri situs‐situs informasi secara kompulsif.
e.
Computer addiction
yaitu
seseorang yang terobsesi
pada permainan‐permainan online (online games).
Metode Penelitian
Populasi penelitian ini adalah 65 Siswa-siswi MAN Jombang.
Berjenis laki-laki dan perempuan. Berusia 16-18 tahun. Teknik pengambilan
sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Random Sampling.
Pada random sampling, semua anggota populasi memiliki peluang yang sama
untuk dimasukkan ke dalam sampel.
Identifikasi Variabel-variabel Penelitian ini meliputi Variabel
Tergantung nya adalah Kecanduan Jejaring Sosial. Sedangkan Variabel Bebas yaitu
Kemampuan bersosialisasi
Kecanduan Jejaring Sosial di ungkap dengan menggunakan teori
Goldberg, ciri-ciri kecanduan jejaring sosial adalah (1). Sering lupa waktu,
(2) Gejala menarik diri, (3) Munculnya sebuah kebutuhan konstan untuk
meningkatkan waktu yang dihabiskan, (4) Kebutuhan akan peralatan komputer yang
lebih baik dan aplikasi yang lebih banyak untuk dimiliki, (5) Sering
berkomentar, berbohong, rendahnya prestasi, menutup diri secara sosial, dan
kelelahan.
Tabel 1
Blue Print Skala Kecanduan
Jejaring Sosial
|
NO.
|
Ciri-Ciri Kecanduan Jejaring Sosial
|
Favourable
|
Unfavourable
|
∑
|
1.
|
Sering lupa waktu
|
1,2,3,4,16,26,36,46
|
5,6,17,27,37,47
|
14
|
2.
|
Gejala menarik diri
|
7,8,18,28,38,48,49,50
|
9,19,29,39,51
|
13
|
3.
|
Munculnya sebuah kebutuhan konstan untuk
meningkatkan waktu
yang dihabiskan.
|
10,20,30,40,52,23,54
|
11,21,31,41
|
11
|
4.
|
Kebutuhan akan peralatan yang lebih canggih.
|
12,22,32,42,55,56
|
13,53,33,43
|
10
|
5.
|
Sering berkomentar, berbohong, rendahnya prestasi,
menutup diri secara sosial, dan kelelahan
|
14,24,34,44,47
|
15,25,35,45
|
9
|
Dalam penelitian ini skala disusun dalam
kalimat-kalimat pernyataan dan responden (subyek) diminta memberikan tanggapan
dengan memberikan √ (check atau centang) pada jawaban yang sesuai
dengan keadaan sebenarnya pada subyek. Pada pernyataan Favourable respon
Sangat Setuju di skor 4, Setuju di skor 3, Kurang Setuju di skor 2, Tidak
Setuju di skor 1.
Pada UnFavourable respon Sangat Setuju di skor 1, Setuju di
skor 2, Kurang Setuju di skor 3, Tidak Setuju 4
Hasil uji validitas (kesahihan) didapatkan hasil bahwa dari 57
item yang diuji ada 49 item yang valid, sedangkan jumlah item yang gugur
sebanyak 8. Adapun item-item yang tidak valid meliputi item nomor : 13, 15, 17,
25, 29, 35, 41, 45. Indeks validitas antara 0,226 s/d 0,739. Hasil uji
reliabilitas (keandalan) didapatkan hasil rtt = 0,944 dengan p = 0,000 yang
berarti cukup reliabel (cukup andal).
Kemampuan bersosialisasi diungkap mengacu pada pendapat Ruchayati,
Ciri-ciri kemampuan Bersosialisasi, antara lain : (1) Pelakunya lebih dari 1
orang, (2), Terjadinya komunikasi antara pelaku melalui kontak sosial, (3)
Memiliki tujuan yang jelas, (4) Dilaksanakan melalui pola sistem sosial
tertentu.
Source :
Jurnal Karya :
1. Heny Nurmandia, Denok Wigati,
dan Luluk Masluchah
Fakultas Psikologi Universitas Darul ‘Ulum Jombang
2. Helly P. Soetjipto
Fakultas
Psikologi, Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta
3. Sari Dewi Yuhana Ningtyas
Jurusan
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
|
Contoh dari Internet Addiction Disorder adalah
- Kecanduan
game online : contoh kasusnya adalah seorang anak ber-umur 16 tahun
yang masih bersekolah di bangku SMA telah kecanduan game online yang
bernama “Ayodance” dia terus memainkan game itu sampai larut malam ,
begadang dan bahkan dia lakukan setiap hari sampai dia bolos sekolah demi
memainkan game online, dan tidak jarang dia menghabiskan uang berjuta juta
untuk membeli Voucher untuk “char” game online tersebut, sampai-sampai
menginap 2malam di warnet.
- Kecanduan
Jejaring social : siapa yang tidak tahu jejaring social
“Twitter,Facebook,Line,BBM,Whatssap” hampir semua tau. Dari orang dewasa
hingga anak kecil yang masih bersekolah di bangku Sekolah dasar. Tidak
sedikit dari mereka kecanduan jejaring social ini. Kasus terbanyak yang
mengalami kecanduang jejaring social berada pada anak remaja. Mereka
menghabiskan waktu lebih dari 10 jam untuk hanya sekedar membuka situs
jejaring social dari bangun tidur hingga mau tidur mereka pasti tidak lupa
mengecek jejaring social mereka . akibatnya ada yang sampai lupa makan,
lupa ibadah, lupa mengerjakan tugas . waktu mereka terbuang sia sia hanya
untuk jejaring social
Kesimpulan
yang dapat diambil adalah. Pergunakan internet sebaik mungkin, internet
sebenarnya banyak membantu kita tetapi jangan sampai disalahgunakan apalagi
menjadi kecanduan.
Kecanduan
Game Online, Anak Bisa Kriminal
Yayasan Sahabat Kapas menilai kecanduan
anak-anak pada game online sudah seperti kecanduan seseorang
kepada narkotik. Sebab, ketika ingin bermain dan tidak punya uang, anak akan
melakukan segala cara, termasuk berbuat kriminal.
Koordinator Yayasan Sahabat Kapas, Dian Sasmita, mengatakan, dalam enam bulan terakhir, di Surakarta ada tujuh anak yang melakukan pencurian demi bisa bermain game online. “Sebagian di antaranya saat ini kami dampingi,” katanya di sela aksi menyambut Hari Anak Nasional, Minggu, 1 Juli 2012.
Aktivitas di depan layar komputer untuk bermain game onlinepunya dampak buruk untuk anak-anak. Antara lain, anak-anak jadi terisolasi dari lingkungan dan pergaulan nyata karena terlalu asyik dengan dunia maya yang sedang dihadapi.
Bahkan mereka bisa terbawa untuk berperilaku agresif, meniru apa yang dilihat di permainan, misalnya untuk permainan yang berkaitan dengan peperangan. Nah, lantaran ingin meneruskan permainan padahal tidak punya uang, anak bisa terdorong melakukan tindak kejahatan seperti mencuri. “Belum lagi jika bicara nilai pelajaran di sekolah bisa menurun karena konsentrasi belajar juga turun,” kata Dian.
Dian mengakui penggunaan Internet memang tidak sepenuhnya punya dampak buruk. Itulah perlunya peran orang tua mengawasi kegiatan anak di depan komputer. “Dampingi anak-anak saat mengakses Internet. Selain itu, beri batasan waktu,” kata Dian.
Solusi mengatasi kecanduan game online, dia menyarankan orang tua agar memberikan alternatif kegiatan. Anak usia 7-18 tahun semestinya bisa melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat daripada sekadar menghabiskan waktu bermaingame online.
Psikolog dari Universitas Muhammadiyah Surakarta, Juliani Prasetyaningrum, mengatakan game online menjadi pelarian bagi anak-anak yang merasa tidak nyaman di rumah. “Mungkin di rumah tertekan dengan tuntutan prestasi yang diminta orang tua atau memang tidak betah di rumah karena ada masalah di keluarga,” katanya.
Karena itu, anak-anak lantas memilih bergabung dengan kelompoknya, seperti komunitas penggemar game online. Tindakan kejahatan demi menyalurkan hobinya bermain game online tidak terlepas dari pengaruh dalam komunitasnya tersebut. “Kalau kelompoknya itu melakukan kejahatan, maka bisa ikut-ikutan,” katanya.
Juliani menyarankan orang tua untuk secara intens menjalin komunikasi dengan anaknya. Kemudian mengubah cara berkomunikasi, dari semula selalu menuntut, beralih menjadi pendamping dan teman bagi si anak. “Kuncinya di orang tua dan keluarga, yang memang sering berinteraksi dengan anak-anak,” ujarnya.
Koordinator Yayasan Sahabat Kapas, Dian Sasmita, mengatakan, dalam enam bulan terakhir, di Surakarta ada tujuh anak yang melakukan pencurian demi bisa bermain game online. “Sebagian di antaranya saat ini kami dampingi,” katanya di sela aksi menyambut Hari Anak Nasional, Minggu, 1 Juli 2012.
Aktivitas di depan layar komputer untuk bermain game onlinepunya dampak buruk untuk anak-anak. Antara lain, anak-anak jadi terisolasi dari lingkungan dan pergaulan nyata karena terlalu asyik dengan dunia maya yang sedang dihadapi.
Bahkan mereka bisa terbawa untuk berperilaku agresif, meniru apa yang dilihat di permainan, misalnya untuk permainan yang berkaitan dengan peperangan. Nah, lantaran ingin meneruskan permainan padahal tidak punya uang, anak bisa terdorong melakukan tindak kejahatan seperti mencuri. “Belum lagi jika bicara nilai pelajaran di sekolah bisa menurun karena konsentrasi belajar juga turun,” kata Dian.
Dian mengakui penggunaan Internet memang tidak sepenuhnya punya dampak buruk. Itulah perlunya peran orang tua mengawasi kegiatan anak di depan komputer. “Dampingi anak-anak saat mengakses Internet. Selain itu, beri batasan waktu,” kata Dian.
Solusi mengatasi kecanduan game online, dia menyarankan orang tua agar memberikan alternatif kegiatan. Anak usia 7-18 tahun semestinya bisa melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat daripada sekadar menghabiskan waktu bermaingame online.
Psikolog dari Universitas Muhammadiyah Surakarta, Juliani Prasetyaningrum, mengatakan game online menjadi pelarian bagi anak-anak yang merasa tidak nyaman di rumah. “Mungkin di rumah tertekan dengan tuntutan prestasi yang diminta orang tua atau memang tidak betah di rumah karena ada masalah di keluarga,” katanya.
Karena itu, anak-anak lantas memilih bergabung dengan kelompoknya, seperti komunitas penggemar game online. Tindakan kejahatan demi menyalurkan hobinya bermain game online tidak terlepas dari pengaruh dalam komunitasnya tersebut. “Kalau kelompoknya itu melakukan kejahatan, maka bisa ikut-ikutan,” katanya.
Juliani menyarankan orang tua untuk secara intens menjalin komunikasi dengan anaknya. Kemudian mengubah cara berkomunikasi, dari semula selalu menuntut, beralih menjadi pendamping dan teman bagi si anak. “Kuncinya di orang tua dan keluarga, yang memang sering berinteraksi dengan anak-anak,” ujarnya.
Source :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar