1. Fenomena Depresi
Depresi adalah
perasaan yang lebih dari perasaan sedih. Perasaannya lebih mendalam yaitu
seseorang merasa tertekan akan keadaan di sekitarnya. Orang depresi akan
merasa bersalah atas hal-hal sepele yang pernah ia lakukan sehingga menyebabkan
ia lebih memilih untuk tidak melakukan sesuatu daripada mendorong dirinya untuk
melakukan sesuatu.
Ada beberapa
penyebab depresi yaitu sebab eksternal dan sebab internal. Sebab-sebab
eksternalnya antara lain;
·
Lingkungan
Lingkungan
menjadi salah satu penyebab depresi karena kejadian-kejadian yang terjadi pada
seseorang misalnya kehilangan sesuatu yang berharga seperti orang yang
dicintai, status sosial maupun barang berharga. Awal-awal seseorang akan tidak
bisa mempercayai atas kehilangannya. Lalu lambat laun ketidakpercayaannya itu
semakin bertambah sehingga membuat ia tidak merasakannya lagi. Setelah itu ia
akan mulai menangis dan merasakan kegundahan serta kehilangan selera makan
hingga akhirnya ia dapat menerima kenyataan.
·
Narkotika
Obat-obatan
psikotoprika dapat menyebabkan depresi. Bahkan sampai bisa membuat orang
melakukan bunuh diri karenanya. Obat-obatan yang digunakan untuk menahan rasa
kantuk juga tidak baik karena mengandung amfetamin yang apabila pemakaian
dihentikan dapat menimbulkan depresi pada seseorang sehingga membuat orang
kecanduan karena terus mengonsumsinya.
·
Obat-obatan
Beberapa
penelitian mengungkapan bahwa sebagian obat-obatan dapat membuat perubahan
kimiawi dalam otak yang mampu menghasilkan efek samping berupa depresi. Contoh
obat-obatan tersebut adalah obat yang digunakan untuk liver, tekanan darah
tinggi dan rematik.
Sedangkan
sebab internalnya yaitu:
·
Penyakit organik
Contohnya
apabila seseorang kekurangan hormon kelenjar gondok dan vitamin B 12 maka ia
dapat mengalami depresi.
·
Keturunan
Suatu studi
medis menyatakan bahwa sebagian orang memiliki potensi depresi karena sebagian
keluarganya ada yang terjangkit depresi.
Depresi
biasanya menyerang orang-orang yang kurang menghargai dirinya, mudah khawatir,
pemalu dan pereksionis. Menurut Atkinson, depresi dicirikan dengan tidak punya
harapan dan semangat hidup, tidak bisa berkonsentrasi, ketidakberdayaan yang
berlebihan, patah hati, dan mencoba bunuh diri. Apabila anda memiliki
gejala-geala di bawah ini, mungkin anda sedang mengalami depresi. Gejala-gejala
tersebut yaitu seperti turunnya tingkat aktivitas, menurunnya produktivitas
kerja, gangguan pola tidur, hilang rasa percaya diri, mudah letih, merasa
bersalah dan tidak berguna.
Sikap orang
yang mengalami depresi antara lain:
·
asosial, artinya ia menarik diri dari interaksi
sosial, keluarga, teman bahkan hobinya
· anhedonia, artinya kehilangan rasa senang terhadap
aktivitas yang menyenangkan sebelumnya
·
duduk sendiri sambil melamun
· saat orang bertanya padanya, ia hanya akan menjawab
dengan gestur atau beberapa kata
·
terganggu dengan suara-suara berisik
·
sering menangis
·
konsentrasi dan pembuatan keputusan menurun
·
letih dan lelah
· kesadaran terhadap harga diri sangat berkurang, dimana
ia merasa dirinya tidak berguna atau tidak berharga. Ia akan merasa bersalah
karena ketidakmampuannya menjalankan fungsi merka dan sering mengaitkan
peristiwa yang terjadi di sekitarnya dengan dirinya.
Teori
Depresi
Prevalensi
depresi meningkat selama masa remaja. Rata-rata tahunan hampir mendekati 9
persen anak-anak muda usia 12 hingga 17 tahun memiliki pengalaman setidaknya
satu episode mengalami depresi dan hanya sekitar 40 persennya telah dirawat
(National Survey on Drug Use and Health [NSDUH], 2008). Angka pada umumnya
meningkat sesuai bertambahnya usia. Depresi pada orang muda tidak
selalu tampak sebagai bentuk kesedihan, tetapi juga mudah marah, kejenuhan atau
ketidakmampuan untuk menikmati rasa senang. Salah satu alasan depresi
memerlukan penanganan serius adalah karena menimbulkan bahaya bunuh diri (Brent
& Birmaher, 2002).
Standar
dan tujuan personal yang tinggi dapat berakibat pada pencapaian dan kepuasan
diri. Akan tetapi saat manusia menempatkan suatu tujuan yang terlalu tinggi,
mereka memiliki kemungkinan untuk gagal yang lebih tinggi. Kegagalan sering berakibat
terhadap depresi, dan orang-orang depresi sering menurunkan nilai pencapaian
mereka sendiri. Hasilnya adalah kesedihan kronis, perasaan tidak berharga,
perasaan tidak memiliki tujuan, dan depresi yang bertahan. Bandura (1986, 1997)
yakin bahwa depresi disfungsi dapat terjadi dalam salah satu dari tiga
subfungsi regulasi diri : (1) observasi diri, (2) proses penilaian, dan (3)
reaksi diri.
Remaja
depresi yang tidak merespons pada penanganan rawat jalan atau yang memiliki
ketergantungan zat-zat atau psikosis atau bunuh diri memerlukan perawatan rumah
sakit. Setidaknya 1 dari 5 orang yang memiliki serangan depresi baik itu di
masa anak-anak atau remaja berisiko menderita gangguan bipolar, ketika episode
depresi (periode “rendah”) berubah menjadi episode manic (periode
“tinggi”) yang dikategorikan sebagai meningkatnya energy, euphoria, sifat
muluk, mengambil risiko (Brent & Birmaher, 2002). Bahkan remaja dengan
gejala yang tidak cukup parah untuk diagnosis depresi berisiko tinggi mengalami
depresi klinis dan perilaku bunuh diri di usia 25 tahun (Fergusson, Horwood,
Ridder, & Beautrais, 2005).
ANALISA
Depresi dapat sangat berbahaya apabila tidak segera ditangani dengan serius. bila sudah timbul gejala-gejala depresi sebaiknya pihak keluarga melaporkannya pada Petugas Kesehatan ini berfungsi agar depresi yang diderita tidak semakin parah. dengan adanya dukungan dari sekitar juga akan membantu kesembuhan dari pasien depresi itu sendiri. dalam kasus depresi perlu diadakannya pendekatan spiritual agar pasien dekat dengan sang pencipta dan mendapatkan ketenangan jiwa.
Depresi juga dapat dicegah dengan cara selalu berpikiran positif, berolahraga dan dan selalu
menyibukkan diri dengan hal-hal yang positif.
2. Hubungan Kesehatan Mental dengan Kecerdasan Emosional
"Adakah korelasi antara Kesehatan dan Kecerdasan emosional ? Dalam kehidupan sehari-hari keduanya sangatlah berperan. Manusia sebagai makhluk social memiliki roh dan jiwa. Dimana jiwa itu sendiri harus mempunyai Kesehatan Mental dan Kecerdasan Emosional yang baik."
Untuk mengenal lebih jauh mengenai Hubungan
Kesehatan Mental dan Kecerdasan emosional, mari Kita bahas satu persatu.
Istilah
Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari
bahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna dengan
kata Psyhe yang berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi
dapat diambil kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau
kesehatan mental.
Kesehatan mental adalah
terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis
maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial) (Mujib dan
Mudzakir, 2001, 2003).
Kriteria
Kesehatan Mental :
1.Pengendalian dan Integrasi Pikiran dan Tingkah laku
2.Integrasi Motif-Motif serta Pengendalian Konflik dan Frustasi
3.Perasaan-perasaan dan Emosi-emosi yang Positif dan sehat
4.Ketengan dan Kedamaian Pikiran
Steiner
(1997) menjelaskan pengertian kecerdasan
emosional adalah suatu kemampuan yang dapat mengerti
emosi diri sendiri dan orang lain, serta mengetahui bagaimana emosi diri
sendiri terekspresikan untuk meningkatkan maksimal etis sebagai kekuatan
pribadi.
Salah satu
komponen penting untuk bisa hidup di tengah-tengah masyarakat adalah kemampuan
untuk mengarahkan emosi secara baik. Penelitian yang dilakukan oleh Goleman
(Ubaydillah, 2004:1) menunjukkan bahwa kontribusi IQ bagi keberhasilan
seseorang hanya sekitar 20% sisanya 80% ditentukan oleh serumpun faktor yang
disebut kecerdasan
emosional. Dalam kenyataannya sekarang ini dapat dilihat bahwa
orang yang ber-IQ tinggi belum tentu sukses dan belum tentu hidup bahagia.
Orang yang ber-IQ tinggi tetapi
karena emosinya tidak stabil dan mudah marah seringkali keliru dalam menentukan
dan memecahkan persoalan hidup karena tidak dapat berkonsentrasi. Emosinya yang
tidak berkembang, tidak terkuasai, sering membuatnya berubah-ubah dalam
menghadapi persoalan dan bersikap terhadap orang lain sehingga banyak
menimbulkan konflik.
Emosi yang kurang terolah juga dengan mudah
menyebabkan orang lain itu kadang sangat bersemangat menyetujui sesuatu, tetapi
dalam waktu singkat berubah menolaknya, sehingga mengacaukan kerja sama yang
disepakati bersama orang lain. Maka, orang itu mengalami kegagalan.
Komponen
Pendukung Kecerdasan Emosional
1. Mampu
mengenali perasaan sendiri
2. Mampu
mengelola perasaan
3. Memotivasi
diri
4. Mampu
berempati dengan orang lain
5. Mampu
menjalin hubungan sosial dengan orang lain
Adanya Hubungan antara Kesehatan Mental dan Kecerdasan Emosional. Dimana Seseorang
yang memiliki Kesehatan Mental yang baik juga akan mempengaruhi kecerdasan
emosionalnya. Mampu mengendalikan diri termasuk ke dalam aspek kesehatan mental
dan juga kecerdasan emosional. Maka orang yang memiliki emosional yang terarah
maka orang tersebut memiliki mental yang sehat pula. Karena kesehatan mental
seseorang terlihat ketika orang tersebut bertingkah laku,
Referensi :
Casmini dkk, 2006, Kesehatan Mental,
UIN SUKA
Jalaluddin, 2007, Psikologi Agama, Raja Grafindo Persada
Jalaluddin, 2007, Psikologi Agama, Raja Grafindo Persada
Kholil Lur Rochman. (2010). Kesehatan Mental. Purwokerto: Fajar Media Press
Feist, G.
J., & Feist, J. (2010). Theories of personality 7th ed. Jakarta:
Salemba Humanika
Papalia, D.
E., & Feldman, R. D. (2014). Experience human development 12th ed. Jakarta:
Salemba
Humanika.